Kamis, 26 Mei 2011

Perjalanan Menjadi Orang Tua Sukses

PERJALANAN MENJADI ORANG TUA SUKSES

Dalam konteks menjadi orang tua atau guru, jika melihat definisi diatas berarti setiap orang tua dan guru harus senantiasa memaksimalkan setiap detik dalam proses mendidik anak jika kita ingin memiliki anak yang bermutu juga. Orang tua dan guru harus memahami mengenai bagaimana cara membangun seorang anak. Karena menjadi orang tua tidak ada sekolahnya, maka orang tua harus terus mencari informasi agar tepat dalam membangun seorang anak

Proses pendidikan anak dimulai sejak pemilihan pasangan hidup. Di butuhkan penyamaan visi dalam pernikahan, karena sejatinya setelah menikah kita di tuntut menjadi orang tua. Di perlukan komitmen bersama sejak awal pernikahan.

Setelah menikah calon orang tua yang bermutu amat memperhatikan apa yang di konsumsinya. Kualitas ovum dan sperma sangat di tentukan oleh makanan yang dikonsumsi. Kualitas ovum dan sperma ini sangat menentukan bagaimana kualitas anak yang akan di kandung oleh seorang ibu. Dalam Islam saat istri dan suami akan berhubungan pun di perintahkan untuk membaca do’a agar anak yang di kandung menjadi anak yang sholeh.

Saat dalam kandungan, sebelum menjadi janin di perlukan proses dari mulai pertemuan antara sel sperma dan sel ovum sampai terbentuk menjadi janin. Perkembangan janin ini di mulai dengan pembentukan sel otak. Di butuhkan nutrisi yang lengkap dan cukup dalam proses ini, sedangkan seorang ibu harus melewati masa awal kehamilan yang cukup berat. Saat inilah di perlukan dukungan dari para suami untuk memotivasi ibu dan menguatkan sang calon ibu.

Sembilan bulan dalam proses kehamilan di butuhkan pengetahuan yang luas, karena membangun anak juga bisa di mulai sejak anak dalam kandungan. Indra yang paling awal terbentuk adalah indra telinga. Anak harus kita ajak komunikasi terus dalam kandungan. Kata-kata yang diucapkan oleh orang tua akan terekam di alam bawah sadar anak. Di dalam buku “Mengapa Syurga di Bawah Telapak Kaki Ibu” di ceritakan tentang seorang ibu (dengan level pendidikan S3), beliau adalah konsultan pendidikan lembaga internasional. “Sewaktu saya berkunjung ke perkampungan atau semacam pesantren di London, waktu itu saya sedang hamil enam bulan. Salah seorang Kyai di sama menyapa saya dengan sebuah pertanyaan “Maukah saya beri tahu agar akidah anak dalam kandungan ibu terpelihara?” saya menjawab “tentu mau.” Dia mengatakan berusahalah khatan Al Qur’an sebelum anak ini lahir. Insya Allah akidahnya nanti akan terpelihara. Khatam? Selama ini saya belum terbayang oleh saya. Yang saya tahu selama hamil hanya membaca surah Maryam dan Surah Yusuf saja. Tetapi saya berusaha. Pada kehamilan yang kedua saya mampu membaca khatam sampai dua kali. Dan tiga kali sampai kehamilan yang ketiga. Subhanallah, tingkat kecerdasan anak saya sesuai berapa banyak yang saya membaca Al Qur’an selama hamil. Alhamdulillah anak ketiga pada usia 12 tahun sudah hafal Al Qur’an dan itu muncul dari dirinya sendiri.

Bayi manusia lahir dengan milyaran sel otak yang butuh di sambungkan satu dengan lainnya. Tugas orang tualah adalah menyambungkan milyaran sel otak tersebut. Dimulai dengan menginformasikan semua yang ada dan terjadi di sekitar anak dan lingkungannya. Kita tidak hanya cukup dengan memberikan mainan, tetapi juga kita harus menginformasikannya. Misalnya saat anak menyentuh apapun yang ada di sekitar, kita harus memverbalkannya. Saat anak menyentuh mainannya yang berwarna merah berbentuk lingkaran, kita bisa informasikan “sekarang kita adek sedang pegang lingkaran berwarna merah” saat anak menarik kita informasikan lagi “adek sekarang menarik mainannya” sehingga anak memahami informasi sejak dini.

Setiap sambungan sel otak terbangun berarti sebuah konsep baru terbangun dan sebuah kemampuan baru dimiliki oleh seorang anak. Setiap bangunan memmerlukan bahan baku dan proses. Bahan-bahan di sini adalah bersumber dari maknan sedangkan proses adalah semua interaksi orang tua, orang-orang di sekitarnya anak ataupun lingkungan yang kontak dengan bayi.

Bila interaksi positif, maka otak anak akan terbangun hal yang positif juga, tetapi sebaliknya jika interaksi yang terjadi negatif akan terbangun hal yang negatif juga. Apa yang di bangun di awal akan di simpan di limbic anak di awal kehidupannya yang akan mempengaruhi kerja otak pusat berfikirnya pada hari-hari berikutnya.

Milyaran sel otak yang dimiliki oleh seorang anak bisa rusak atau mati bahkan jika orang tua melakukan tiga hal, yang pertama marah, lalu melarang dan memerintah. Lalu apa yang harus dilakukan?

Orang tua harus memiliki pengetahuan yang cukup untuk membangun otak anak. Memerintah, melarang dan marah memang mudah di lakukan, untuk membuat anak tidak melakukan suatu hal lagi. Yang harus di lakukan oleh orang tua adalah memberikan anak pengertian mengapa itu tidak boleh dilakukan, member informasi mana yang bahaya atau tidak, memberi anak informasi mengapa anak harus melakukan suatu hal. Dan yang paling penting adalah memberikan contoh dan teladan yang baik.

Pada anak-anak yang masih bayi, orang tua harus mampu melabelkan apa yang dilakukan oleh anak. Misalnya saat anak berdiri dengan dua kakinya kita bisa mengatakan “Umi sekarang berdiri dengan dua kaki. Nanti kalau umi sudah lebih besar, umi bisa berjalan, berlari, dan melompat.” Saat anak menunjuk tangannya ke atas kipas angin yang berputar “itu namanya kipas angin nak… Kipasnya berputar dengan energy listrik sehingga menghasilkan angin yang membuat tubuh kita dingin.” Ketika anak bermain dengan mainannya kita juga bisa bilang “Umi pegang mainan dengan tangan kanan, sekarang umi pindahkan mainan dari tangan kanan ke tangan kiri.” Dengan melabelkan, anak akan mengetahui banyak hal dan informasi yang di dengarnya akan masuk ke otak pusat berfikir dan akan di simpan ke dalam limbic sebagai infomasi jangka panjang.

Bagaimana tidak melarang jika anak akan memegang barang yang membahayakan. Pada anak-anak usia dini, kita harus melakukan intervensi fisik terlebih dahulu, baru memberi pengertian. Misal saja, saat anak memegang kabel yang membahayakan angkat dan pindahkan anak ke tempat yang aman dahulu, baru informasikan kepada anak, bahwa yang ia pegang kabel yang di aliri listrik, kalau di pegang bisa kesetrum dan itu membahayakan untuk dirinya. Di perlukan ketenangan dan kesabaran para orang tua untuk senantiasa memberikan informasi terus menerus kepada anak-anak. Informasi harus terus di sampaikan agar anak benar-benar mengerti dan memahami.

Beberapa orang bertanya, dalam islam bukankah banyak perintah maupun larangan? Lalu bagaimana dong. Allah memerintahkan seseorang melakukan suatu hal atau melarang pasti ada manfaatnya. Kita harus memahami itu semua, mungkin ini hikmah mengapa ayat yang pertama kali Allah turunkan adalah “Iqro” bacalah. Kita harus mampu membaca apa yang ada di langit dan di bumi. Sebelum memerintahkan sholat, Rasul kita terlebih dahulu menanamkan kecintaan kepada Allah. Sehingga anak memiliki kesadaran untuk sholat tanpa di perintah-perintah. Saat sholat orang dewasa di sekitar anak harus memberikan contoh untuk bergegas sholat, mencontohkan sholat yang khusyu.’ Ketika adzan berkumandang, ajak anak dengan memberikan informasi “Alhamdulillah sudah adzan dzhuhur, kita bersiap ke mushola yuk. Buat yang makannya belum selesai, silahkan manfaatkan waktu dengan baik, karena kita akan sholat berjama’ah. Saat sholat, kita harus member contoh, kita bisa sampaikan pesan singkat sebelum sholat “Saat sholat yang kita ucapkan hanya bacaan sholat, dan bagian tubuh yang di gerakkan hanya yang seharusnya kita gerakkan saat sholat.

PENGARUH TELEVISI

Dalam sebuah dialog perkembangan orang tua mengenai perkembangan putranya, seorang konsultan tubuh kembang anak menyampaikan tentang hasil observasinya. Saat itu di sampaikan mengenai kemampuan proprioseptip anak tersebut yang masih butuh di bangun. Sistem proprioseptip menyampaikan informasi ke otak melalui berbagai gerakan tubuh. Jika sistem ini belum terbangun pada anak, anak akan mengalami kesulitan dalam belajar. Anak akan cepat lelah dan biasanya pekerjaannya tidak selesai.

Kami mendiskusikan berbagai hal yang menyebabkan kurang terbangunnya sistem proprioseptip anak. Diantaranya sistem sekolah di TK yang terlalu dini mengenalkan calistung sehingga kurang memperhatikan pembangunan otot-otot anak melalui stimulasi motorik. Dan pola asuh orang tua yang kurang dalam melatih motorik anak. Aktifitas keseharian anak juga perlu di perhatikan. Saat ini hampir di semua rumah memiliki televisi atau play station yang tentunya menjadi mainan favorit anak. Padahal sudah banyak penelitian mengenai dampak negatif dari televisi atau play station. Aktifitas menonton yang pasif ini menyebabkan otot-otot anak kurang terlatih, sehingga sistem proprioseptipnya kurang terbangun juga.

Anak dilahirkan dengan 10 miliar neuron (sel syaraf) di otaknya. Tiga tahun pertama sejak lahir merupakan periode di mana miliaran sel glial terus bertambah untuk memupuk neuron. Sel-sel syaraf ini dapat membentuk ribuan sambungan antarneuron yang disebut dendrite yang mirip sarang laba-laba, dan axon yang berbentuk memanjang.

Otak anak usia 6 - 7 tahun besarnya dua pertiga otak orang dewasa, tapi memiliki 5 - 7 kali lebih banyak sambungan antarneuron daripada otak anak usia 18 bulan atau orang dewasa. Otak mereka memang punya kemampuan besar untuk menyusun ribuan sambungan antarneuron. Namun, kemampuan itu berhenti pada umur 10 - 11 tahun jika tidak dikembangkan atau digunakan. Saat itu enzim tertentu dilepaskan dalam otak dan melarutkan semua jalur atau "urat" syaraf (pathways) yang tidak termielinasi dengan baik (mielinasi adalah proses pembungkusan jalur syaraf dengan myelin yang berujud protein-lemak).

Perkembangan otak anak yang sedang tumbuh melalui tiga tahapan, mulai dari otak primitif (action brain), otak limbik (feeling brain), dan akhirnya ke neocortex (atau disebut juga thought brain, otak pikir).

Meski saling berkaitan, ketiganya punya fungsi sendiri-sendiri. Otak primitif mengatur fisik kita untuk bertahan hidup, mengelola gerak refleks, mengendalikan gerak motorik, memantau fungsi tubuh, dan memproses informasi yang masuk dari pancaindera. Saat menghadapi ancaman atau keadaan bahaya, bersama dengan otak limbik, otak primitif menyiapkan reaksi "hadapi atau lari" (fight or flight response) bagi tubuh. "Kita akan bereaksi secara fisik dan emosi lebih dulu sebelum otak pikir sempat memproses informasi," papar dr. Susan.

Otak limbik memproses emosi seperti rasa suka dan tidak suka, cinta dan benci. Otak ini sebagai penghubung otak pikir dan otak primitif. Maksudnya, otak primitif dapat diperintah mengikuti kehendak otak pikir, di saat lain otak pikir dapat "dikunci" untuk tidak melayani otak limbik dan primitif selama keadaan darurat, yang nyata maupun yang tidak.

Sedangkan otak pikir, yang merupakan bentuk daya pikir tertinggi dan bagian otak yang paling objektif, menerima masukan dari otak primitif dan otak limbik. Namun, ia butuh waktu lebih banyak untuk memproses informasi, termasuk image, dari otak primitif dan otak limbik. Otak pikir juga merupakan tempat bergabungnya pengalaman, ingatan, perasaan, dan kemampuan berpikir untuk melahirkan gagasan dan tindakan.

Mielinasi saraf otak berlangsung secara berurutan, mulai dari otak primitif, otak limbik, dan otak pikir. Jalur syaraf yang makin sering digunakan membuat mielin makin menebal. Makin tebal mielin, makin cepat impuls syaraf atau perjalanan sinyal sepanjang "urat" syaraf. Karena itu, anak yang sedang tumbuh dianjurkan menerima masukan dari lingkungannya sesuai dengan perkembangannya.

Di samping itu, anak juga membutuhkan pengalaman yang merangsang pancaindera. Namun, indera mereka perlu dilindungi dari rangsangan yang berlebihan karena anak-anak itu ibarat sepon.

"Mereka menyerap apa saja yang dilihat, didengar, dicium, dirasakan, dan disentuh dari lingkungan mereka. Kemampuan otak mereka untuk memilah atau menyaring pengalaman rasa yang tidak menyenangkan dan berbahaya belum berkembang," papar Susan.

Rangsangan dan perkembangan indera itu pada gilirannya akan mengembangkan bagian tertentu dari otak primitif yang disebut reticular activating system (RAS). RAS ini pintu masuk di mana kesan yang ditangkap setiap indera saling berkoordinasi sebelum diteruskan ke otak pikir.

RAS merupakan wilayah di otak yang membuat kita mampu memusatkan perhatian. Kurangnya stimulasi, atau sebaliknya stimulasi yang berlebihan, ditambah lagi dengan gerakan motorik kasar dan halus yang tidak berkembang secara baik, bisa menyebabkan rusaknya perhatian terhadap lingkungan.

Sebelum anak berusia empat tahun, otak primitif dan otak limbik sudah 80% termielinasi. Setelah umur 6 - 7 tahun mielinasi bergeser ke otak pikir. Awalnya dari belahan otak kanan yang antara lain bertugas merespons citra visual. Ketika menonton TV, belahan otak kanan inilah yang paling dominan kerjanya.

Sedangkan ketika membaca, menulis, dan berbicara, belahan otak kiri yang dominan. Tugas utama otak kiri ialah berpikir secara analitis dan menyusun argumen logis langkah demi langkah. Ia menganalisis suara dan makna bahasa (misalnya, kemampuan mencocokkan suara dengan alfabet), juga mengelola keterampilan otot halus.

Aktivitas motorik kasar seperti lompat tali, memanjat, lari, serta aktivitas motorik halus macam menggambar, merenda, membuat origami, dan bikin kue merupakan akitivitas penting bagi proses mielinasi C. collosum. Jalur ini memungkinkan kemampuan berpikir analitis (otak kiri) dan intuitif (otak kanan) untuk saling mempengaruhi. Sejumlah ahli neuropsikologi percaya, buruknya perkembangan jembatan ini mempengaruhi komunikasi efektif antara belahan otak kanan dan kiri. Diduga, inilah penyebab timbulnya kesulitan perhatian dan belajar pada anak.

Televisi sesungguhnya hanya memberikan informasi kepada dua indera: mata dan telinga. Padahal ketajaman visual dan pandangan tiga dimensional pada anak belum berkembang sepenuhnya sampai usia empat tahun. Gambar yang dihasilkan layar televisi itu gambar dua dimensi, tidak fokus dan kabur karena tersusun dari titik-titik sinar. Itu membuat mata anak-anak harus memaksa diri agar gambar menjadi jelas.

Televisi, juga barang elektronik lain, memancarkan gelombang elektromagnetik. Maka disarankan, posisi menonton setidaknya 120 cm dari TV dan 45 cm dari layar komputer.

Sistem visual yang meliputi kemampuan mencari (search out), memindai (scan), memfokus, dan mengidentifikasi apa yang masuk ke bidang pandang, terganggu oleh kegiatan menonton TV. Padahal keterampilan visual ini perlu dikembangkan dalam kaitannya dengan membaca efektif. Saat menonton, pupil mata anak tidak melebar, dan nyaris tidak ada gerakan mata yang justru penting dalam kegiatan membaca. Mata dituntut terus bergerak dari kiri ke kanan halaman saat membaca.

Kemampuan untuk memusatkan perhatian juga mengandalkan sistem visual ini. Sementara itu gambar-gambar televisi yang berubah secara cepat tiap 5 - 6 detik pada kebanyakan tayangan acara dan 2 - 3 detik pada iklan, membuat otak pikir tidak punya kesempatan memproses image. Padahal otak pikir perlu 5 - 6 detik untuk memproses gambar begitu mendapat stimulus.

Membaca buku, berjalan-jalan di alam, atau bercakap dengan orang lain - di mana anak punya kesempatan untuk merenung dan berpikir - jauh lebih mendidik daripada menonton TV.

Kegiatan ini meniadakan pengalaman berharga itu. Menonton TV merupakan pekerjaan tanpa akhir, tanpa tujuan, dan tak bikin "kenyang". Tidak seperti makan dan tidur yang bisa bikin perut kenyang dan badan tidak capek lagi, menonton TV tidak ada ujungnya. "TV membuat anak ingin terus menonton tanpa pernah merasa puas," ungkap Susan.

Sesame Street dan kebanyakan acara televisi untuk anak, papar Susan, meletakkan belahan otak kiri dan sebagian belahan otak kanan ke dalam gelombang alfa (slow wave of inactivity). Televisi membius fungsi-fungsi otak pikir dan merusak keseimbangan serta interaksi antara belahan otak kiri dan kanan.

Secara umum, membaca menghasilkan gelombang beta cepat dan aktif, sedangkan menonton televisi meningkatkan gelombang alfa lambat di belahan otak kiri dan kanan. Belahan kiri merupakan pusat penting dalam kegiatan membaca, menulis, dan berbicara. Otak kiri merupakan tempat di mana simbol-simbol abstrak (misalnya huruf-huruf alfabet) dikaitkan dengan bunyi. Sumber cahaya televisi yang berpendar dan bergetar diduga ada kaitannya dengan meningkatnya aktivitas gelombang lambat itu.

Otak primitif tidak dapat membedakan mana gambar riil dan mana gambar di TV karena penglihatan merupakan tanggung jawab otak pikir. Karena itu, ketika TV menayangkan gambar-gambar close-up dan gambar-gambar bercahaya secara tiba-tiba, otak primitif bersama otak limbik segera menyiapkan respons "hadapi atau lari" dengan melepaskan hormon dan bahan kimia ke seluruh tubuh. Degup jantung dan tekanan darah naik. Darah yang mengalir ke otot-otot anggota badan meningkat, bersiap-siap menghadapi keadaan bahaya.

Karena itu terjadi dalam tubuh tanpa diikuti gerakan-gerakan yang sesuai dari anggota badan, maka acara-acara TV tertentu sesungguhnya meletakkan kita ke dalam suatu keadaan stres atau kecemasan kronis. Berbagai studi menunjukkan, pada orang dewasa yang mengalami stres kronis pertumbuhan belahan otak kirinya terhenti (atrophy).

Ketika otak anak dipapari rangsangan visual sekaligus suara, yang diserap hanyalah visualnya. Ilustrasi tentang fenomena ini dapat dilihat pada sekelompok anak (6 - 7 tahun) yang disuguhi tontonan video yang suaranya tidak sesuai dengan gerakan visualnya. Begitu ditanya, mereka tidak ngeh kalau suara dan gambarnya tidak klop. Itu artinya, mereka tidak menyerap isi tontonannya. Begitu pula dengan Sesame Street.

Agar anak lebih menyukai aktifitas membaca atau bermaian, harus dimulai dari orang tua terlebih dahulu. Orang tua haruslah memberi teladan dengan tidak menonton televisi dan mengalihkan pada aturan lain. Ayah dan bunda harus memiliki pemahaman yang sama dalam hal ini sehingga anak tidak bingung.

BUKAN WAKTUNYA MENYALAHKAN

Orang tua terdiri dari ibu dan ayah. Ibu dan ayah menjadi teladan bagi anak-anak. Sering orang tua saling menyalahkan ketika anaknya mengalami kendala dalam perkembangan. Padahal baik ayah maupun bunda seharusnya memiliki paradigma yang sama dalam mengasuh anak. Tugas ayah bukan hanya bekerja untuk menafkahi keluarga. Pendidikan keluarga tidak bisa hanya dengan mengandalkan ibu saja.

Secara umum, ayah dan ibu memiliki peran yang sama dalam pengasuhan anak-anaknya. Namun ada sedikit perbedaan sentuhan dari apa yang ditampilkan oleh ayah dan ibu.

Peran ibu antara lain menumbuhkan perasaan mencintai dan mengasihi pada anak melalui interaksi yang jauh melibatkan sentuhan fisik dan kasih sayang. Menumbuhkan kemampuan berbahasa pada anak melalui kegiatan-kegiatan bercerita dan mendongeng, serta melalui kegiatan yang lebih dekat dengan anak, yakni berbicara dari hati ke hati kepada anak. Mengajarkan tentang peran jenis kelamin perempuan, tentang bagaimana harus bertindak sebagai perempuan, dan apa yang diharapkan oleh lingkungan sosial dari seorang perempuan.

Sedangkan peran ayah, menumbuhkan rasa percaya diri dan kompeten pada anak melalui kegiatan bermain yang lebih kasar dan melibatkan fisik baik di dalam maupun di luar ruang. Menumbuhkan kebutuhan akan hasrat berprestasi pada anak melalui kegiatan mengenalkan anak tentang berbagai kisah tentang cita-cita. Mengajarkan tentang peran jenis kelamin laki-laki, tentang bagaimana harus bertindak sebagai laki-laki, dan apa yang diharapkan oleh lingkungan sosial dari laki-laki.

Penelitian di Amerika menemukan fakta, peran ayah berdampak signifikan dalam hal pengasuhan anak. Seorang anak yang dibimbing oleh ayah yang peduli, perhatian dan menjaga komunikasi, akan cenderung berkembang menjadi anak yang lebih mandiri, kuat, dan memiliki pengendalian emosional yang lebih baik, dibandingkan anak yang tidak memiliki ayah seperti ini. Dalam kajian psikologi, ada temuan menarik yang bisa kita pakai untuk mendudukkan peranan ibu dan ayah. Seperti yang dikutip Philip G. Zimbardo, Scott, (1979), dalam bukunya Psychology & Life, ayah punya kontribusi besar untuk memprediksi keberhasilan anak dalam karier atau studi. Bahkan, peranan ayah lebih powerfull ketimbang lembaga akademik.

John Gottman dan Joan De Claire dalam buku Kiat-kiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosional, juga mengungkap beberapa hasil penelitian pentingnya peran ayah dalam pendidikan anak-anaknya, khususnya dalam perkembangan emosional sang anak. Beberapa penelitian lainnya membuktikan, keterlibatan ayah dalam kehidupan perkembangan anak laki-laki menghasilkan kesuksesan dalam persahabatan dan prestasi akademis anak. Sedang bagi anak perempuan, membuat anak cenderung tidak longgar dalam aktivitas seksual dan lebih bisa membangun hubungan yang sehat ketika dewasa. Jelaslah, ayah dan ibu yang bersama-sama melakukan pengasuhan akan lebih memberikan kenyamanan bagi sang anak. Dalam Islam tidak dibedakan secara biologis siapa yang berperan dalam pengasuhan. Sebab, hadis Rasul menyebutkan peran orang tua amat dominan dalam perkembangan anaknya. Kedua orang tua sungguh sangat memiliki peran dalam mewarnai dunia anak-anaknya.

Nabi Muhammad saw., bersabda: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanya-lah yang menjadikannya Nasrani, Yahudi atau Majusi.” (HR. Bukhari).

Dalam Hadis tersebut nyata bahwa dalam Islam, peran mendidik dan mengasuh anak bukan mutlak kewajiban seorang ibu. Bahkan dalam Alquran banyak kisah-kisah yang menceritakan besarnya peran ayah dalam pendidikan anak. Salah satu contoh yang paling jelas adalah kisah Luqman yang direkam dalam Alquran dan diabadikan dalam salah satu surat Alquran. Di sana diceritakan mengenai Luqman yang sedang memberikan nasihat kepada anak-anaknya (QS. Luqman: 13, dan seterusnya). Sebab itu, seruan untuk mengajak ayah dalam pengasuhan buah hati bukanlah suatu hal yang tanpa alasan. Jika mengharap akan lahir generasi yang jauh lebih unggul dari yang diharapkan, mari mulai bersama lelaki dan perempuan bekerjasama membangun kehidupan di dalam rumah dalam melakukan pengasuhan.

Kita harus mulai membiasakan diri berbagi tugas dan terlibat langsung dalam pengasuhan dan perawatan anak. Atur jadwal dengan ibu, kapan giliran ayah bertugas memandikan anak, mengganti popoknya, membuat susu, dan menemani sang anak ketika sulit tidur. Atau kapan ayah membacakan cerita pengantar tidur, berdiskusi tentang apa yang dialami sang anak bersama teman-temannya, serta menjalin komunikasi untuk membantu sang anak melihat persoalan yang dialaminya. Dengan terlibat langsung dalam pengasuhan dan perawatan, akan terjalin hubungan emosional antara ayah dan anak. Akan ada kedekatan yang muncul, dan sang anak akan bisa merasakan perhatian dan kehadiran ayah di sisinya.

Sungguh Rasulullah saw. telah memberi contoh kepada kita, pada masa dimana merupakan hal tabu bagi seorang ayah memiliki anak perempuan, apalagi kemudian menimang anaknya di depan umum untuk menunjukkan kasih sayangnya. Namun sungguh Nabi malah melakukan itu di depan umum. Pasti ada maksud yang ingin disampaikannya kepada umatnya dengan sikapnya yang demikian. Bahwasanya, sungguh terlibat dalam hal pengasuhan anak bagi seorang ayah adalah sama utamanya dengan kebaikan lainnya. Bahkan Nabi memberi peringatan bagi sahabat yang tidak pernah membelai anaknya dalam ungkapan bahwa sungguh orang yang demikian telah meninggalkan rahmat dan kebaikan di hatinya. Dalam hadis Nabi saw., disebutkan:

“Suatu ketika seorang sahabat mengunjungi Rasulullah saw. Ketika itu ia mendapati Rasul tengah bercengkrama dan membelai kedua cucunya, Hasan dan Husain. Ia terkejut melihat apa yang dilakukan Rasul dan berkata, “Wahai Rasulullah! Apakah engkau juga membelai anak-anak, saya punya sepuluh anak-anak tapi saya belum pernah membelai bahkan salah satu pun dari mereka.” Kemudian Rasulullah mengangkat matanya dan berkata, “Tampaknya rahmat dan kebaikan telah meninggalkan hati Anda.”

Tak jarang saling menyalahkan juga menimpa guru dan orang tua. Padahal kalau kita lihat mengenai definisi di atas tentang orang tua, maka guru termasuk orang tua juga bagi anak. Jika anak mengalami masalah di sekolah, orang tua dan guru harus bisa berdialog mencari penyebab sehingga dapat memecahkan masalah. Saat ini dibutuhkan kejujuran dari kedua belah pihak. Sharing antara guru dan orang tua bisa dijadikan sarana berbagi ilmu. “Ah… ibu kan belum merasakan punya anak.” Kadang terlontar kepada guru terutama yang belum menikah dan punya anak. Padahal kalau di hitung-hitung waktu anak-anak di sekolah jumlahnya hampir sama dengan pertemuan efektif ibu dan ayah dengan anak-anak. Dan di sekolah guru bukan hanya membangun satu atau dua anak, minimal 10 anak, bahkan lebih dari itu. Peran orang tua baik ayah maupun ibu di rumah serta guru di sekolah tak bisa di lepaskan, sehingga di perlukan kerjasama yang sinergi antara orang tua di rumah dengan guru di sekolah.

BELAJAR DAN TERUS BELAJAR

Menjadi orang tua bermutu bukan di butuhkan usaha dan kekuatan kemauan. Kita harus terus belajar. Kita akan di mintai pertanggung jawaban oleh Allah atas anak-anak kita. Sehingga kita harus memahami setiap tahapan perkembangan anak, sehingga mampu membangun menstimulasi anak sesuai dengan usianya. Karena tidak ada sekolah bagi orang tua, maka orang tua harus selalu menambah pengetahuannya dalam mendidik anak.

Agar tidak terjebak pada kebiasaan Memerintah, Melarang dan Marah, di butuhkan kemauan yang kuat juga untuk belajar berkomunikasi kepada anak. Orang tua juga harus memiliki pengetahuan yang luas untuk selalu memberikan informasi sehingga di mengerti oleh anak.

Referensi :

“Mengapa syurga di bawah telapak kaki ibu,” Wismiarti

Artikel “Nonton TV nggak baik lho,” www.depkes.go.id

“Peran Ayah dan Ibu Berbeda untuk Pengasuhan Anak,” www.ibudanbalita.com

“Dari hanya Peran Ibu, Menuju Peran Orang Tua : Al-Arham Edisi 19 (B)” www.rahima.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jangan lupa kasih komentar yang konstruktif yaaa...