Lir ilir lir ilir
Tandure wis sumilir
Tak ijo royo-royo
Tak senggoh temanten anyar
cah angon cah angon penekno blimbing kuwi
lunyu lunyu penekne kanggo masuh dododiro
dododiro dododiro kumitir bedah ing pinggir
dondomono jlumatana kanggo sebo mengko sore
mumpung padang rembulane
mumpung jembar kalangane
sun surako surak hiyo…
ini lagu Jawa, dari salah satu Sunan Walisongo yang menyebarkan Islam di Jawa di masa awal perkembangannya.
Artinya sangat mendalam, jika ditelusuri.
Lir ilir, lir ilir tandure wis sumilir (Lir ilir, lir ilir tanamannya sudah mulai bersemi)
>> lir-ilir : Sayup-sayup bangun (dari tidur), tanaman : agama Islam.
Tak ijo royo – royo (Hijau Royo royo)
>> agama Islam tumbuh subur di Tanah Jawa. Yakni hijau sebagaiman simbol umum agama Islam. Dalam politik indonesia pun dulu ada istilah “penghijauan di MPR”, dimana MPR yang dulu (sebelum 1989) banyak didominasi non muslim mulai terisi oleh praktisi2 dari kelompok Islam.
Tak sengguh temanten anyar (demikian menghijau bagaikan pengantin baru)
>> sedemikian maraknya perkembangan masyarakat untuk masuk ke agama Islam, namun taraf penyerapan dan implementasinya masih level mula, seperti penganten baru dalam jenjang kehidupan pernikahannya. Ada juga penafsiran yang mengatakan bahwa pengantin baru maksudnya adalah raja2 jawa yang baru masuk Islam.
Cah angon – cah angon penekno blimbing kuwi (Anak-anak penggembala, panjatkan pohon blimbing itu )
>> Kenapa cah angon ? Hadits Rasul “Al-Imaamu Ro’in” (Imam adalah Pemimpin/Penggembala). Ro’in dalam bahasa arab artinya secara bahasa penggembala dan secara urf (adat arab) juga untuk menyebut sebagai pemimpin.
>> Kenapa Belimbing : Inget : belimbing itu warnanya ijo (ciri khas Islam) dan memiliki sisi 5. Jadi, belimbing adalah isyarat agama Islam itu sendiri, yang tercermin dari 5 sisi buah belimbing yang menggambarkan Rukun Islam.
>> Kenapa penekno (ambilkan) : Inilah seruan tholabun nushroh para wali kepada para penguasa di Jawa, agar mereka bersedia mengambil Islam itu agar masyarakat bisa mengikuti langkahnya dan dengan itu aturan Islam dapat diterapkan ke masyarakat. Tidak mungkin Islam terterapkan kaffah tanpa ada kemauan penguasa “mengambil” Islam sebagai agama dan sistemnya. Para penafsir lagu lir-ilir kebanyakan tidak sasmito terhadap penggunaan kata2 penekno belimbing ini .. Kalau cuman sekedar belimbing sih biasanya anak kecil juga bisa ambil sendiri, tapi ini menggunakan kata “penekno” yang artinya adalah ambilkan buah itu untuk saya, kami dan mereka semua. Dan juga bukan peneken (panjat dan ambil untuk dirimu sendiri). Jelas ini artinya adalah seruan para wali agar raja bersedia mengimplementasikan Islam untuk masyarakat umum.
Lunyu – lunyu penekno kanggo mbasuh dododiro (Biar licin tetap panjatkan untuk mencuci pakaian-mu)
>> dodod : sejenis pakaian jawa (katanya sih seperti kemben)
>> walaupun berat ujiannya, walaupun banyak rintangannya karena masuk agama Islam itu berkonsukuensi luas baik secara keluarga, sosial dan politik, maka tetap anutlah Islam untuk membersihkan aqidahmu dan menyucikan dirimu dari dosa dosamu. Demikian juga pasti sangat berat rintangan untuk melaksanakan syariat Islam itu ditengah masyarakat, karena pasti akan berhadapan dengan agama, adat istiadat serta sistem yang telah terbangun dimasyarakat.
Dododiro – dododiro kumitir bedah ing pinggir
Pakainmu itu tertiup2 angin dan sobek di pinggir pinggirnya
>> kumitir : bayangkan kain yang dijemuran dan tertiup2 angin lalu terlihat pinggir kain itu sobek2. Yang dimaksud disini adalah ketika para raja itu sudah masuk Islam, maka masih ada hal hal yang belum Islam kaffah, masih ada cacat2 di aqidah-nya sebab masih terpengaruh oleh hindu jawa.
>> Bedah ing pinggir : barangkali yang dimaksud pinggir sini adalah masyarakat bawah (pinggiran), dimana pada mereka masih kurang memahami dan kurang melaksanakan Islam sebab banyak masyarakat awam belum tersentuh dakwah atau belum komitmen di Islam.
Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore (Jahitlah, benahilah untuk menghadap nanti sore )
>> Betulkanlah penyimpangan2 itu baik pada dirimu atau pada masyarakatmu untuk persiapan kematianmu
>> sebo : menghadap = sowan. Mengko sore : nanti sore (waktu ajal). Usia senja : usia tua mendekati masa akhir.
>> Pesan dari para wali bahwa kamu itu wahai raja .. pasti akan mati dan akan menemui Allah SWT untuk mempertanggungjawabkan diri, keluarga dan masyarakat yang kamu pimpin. Maka benahilah dan sempurnakanlah keislamanmu dan keislaman masyarakatmu agar kamu selamat di Hari Pertanggung Jawaban (yaumul Hisab)
Mumpung padang rembulane (Selagi terang (sinar) bulan-nya)
>> Para wali mengintatkan agar para raja melaksanakan hal itu mumpung masih terbuka pintu hidayah menerima Islam dan masih banyak ulama2 yang bisa mendampingi beliau untuk memberikan nasehat dan arahan dalam menerima dan menerapkan Islam.
Mumpung jembar kalangane (Mumpung luas kesempatannya)
>> Mumpung si Raja masih menduduki jabatan sebagai penguasa. Nanti perkaranya atau kesempatan melaksanakan ini akan hilang bila raja tersebut sudah tidak menjadi penguasa.
>> Kalangan bisa juga berarti pendukung sehingga maknanya juga bisa : mumpung selagi banyak pendukungnya
>> bagian ini sangat menjelaskan bahwa lagu ini adalah tholabun nusrhoh para wali kepada raja raja agar raja memanfaatkan kesempatannya (sebagai raja) untuk disamping masuk Islam juga terlibat aktif dalam penyebaran dan pelaksanaan syariat Islam di wilayahnya (tanah Jawa).
Sun surako surak hiyo (Mari bersorak-sorak ayo…)
>> Sambutlah seruan ini dengan gembira “Ayo kita terapkan syariat Islam” …. Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu (Al-Anfal :25)
>> Mustinya pejabat pusat ataupun daerah sekarang ini juga dinyanyikan lagu ini. Kalau mereka waskito lan tanggap in sasmito (bijak dan tanggap terhada tanda2), maka mereka isnyaAllah akan bersedia melaksanakan syariat Islam.
Bagaimana dengan kita ? adakah terpanggil dengan lagu lir-ilir ini?
(just codif (copy modif) dari salah satu MP, semoga bermanfaat…)
sekolah alternatif untuk generasi unggulan
Senin, 13 Juni 2011
Kamis, 09 Juni 2011
GENERASI SYAHADAT, GENERASI TAHAN UJI
Besar kecilnya tanggungjawab seseorang menjadi tanda kualitas syahadatnya, yang dapat diukur pada caranya memanfaatkan waktu. Seorang yang berkualitas selalu berusaha menumbuhsuburkan bibit syahadatnya agar dapat terus ditingkatkan lebih tinggi lagi.
Tiada waktu tanpa peningkatan kualitas syahadat. Tiada program kecuali peningkatan iman. Tidak mati kecuali dalam puncak jenjang syahadat, pasrah diri kepada Tuhan.
"Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa, dan janganlah engkau mati kecuali dalam Islam." (Q.S. Ali Imran : 102).
Rute perjalanan yang harus dilalui untuk membuktikan syahadat bisa dikatakan singkat, bisa juga panjang. Hal tersebut tergantung pada kadar mujahadah, dukungan ibadah dan ukuran besar kecilnya tanggungjawab yang dipikul.
Namun demikian, dibalik perbedaan jauh rute itu, ada kesamaan irama dan ritme perjalanan. Jurang yang terjal, tebing yang tinngi pasti ditemukan dalam perjalanan.
Bahkan dengan tegas Allah merinci tikungan-tikungan tajam yang akan dilewati dalam perjalanan proses uji coba penentuan peringkat kadar kualitas syahadat dengan firman-Nya:
"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang yang beriman bersamanya : 'Bilakah datangnya pertolongan Allah ?'. Ingatlah sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat." (Q.S. Al-Baqarah : 214).
Ada tiga tebing tinggi dan jurang terjal yang harus dilewati sebelum seseorang sampai ke titik kenikmatan yang dijanjikan oleh Allah. Baik kenikmatan dunia apalagi yang di akhirat.
Ketiga tebing dan jurang tersebut dialami oleh semua orang yang ingin menikmati surga,tak terkecuali Nabi dan Rasul Allah.
Sudah merupakan garis ketentuan Allah, atau sudah menjadi sunnatullah, hukum alam yang sudah pasti, bahwa untuk mencapai keadaan yang ideal diperlukan proses yang tidak ringan.
"Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang terdahulu sebelum(mu), dan kamu sekali-kali tidak akan mendapati perubahan pada sunnah Allah." (Q.S. Al-Ahzab : 62).
Andaikan para Nabi dan Rasul mengetahui jalan mulus menuju surga tanpa mengalami hambatan dan rintangan yang serba menyulitkan, tanpa malapetaka dan ujian, tanpa kesengsaraan dan kemiskinan, maka mereka tentu akan memilih jalan itu. Akan tetapi kenyataannya tidak begitu.
Semua Nabi dan Rasul mengalami nasib yang sama, menempuh rute perjalanan dengan ritme dan irama yang sama. Mereka menderita, selalu ditimpa malapetaka, ditimpa kemelaratan yang tiada tara, juga dihantui oleh perasaan yang serba takut.
Hanya imanlah yang memberikan kemampuan pada mereka untuk tetap berjalan dalam rel yang sudah ditentukan.
Bukan hanya itu, segala cobaan yang datangnya dari Allah mampu dimanfaatkan untuk mempertebal keimanan, bukan sebaliknya melemahkan iman.
Syahadat memang memerlukan proses pembajaan. Dan proses pembajaan yang baik hanyalah melewati berbagai kesulitan, karena sesudah kesulitan itulah akan muncul kemudahan. "Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan." (Q.S. Al-Insyirah : 5-6).
Bila Malapetaka Datang
Malapetaka merupakan suatu kondisi yang sangat tidak menyenangkan, datang dengan tiba-tiba di luar perkiraan, dan tanpa persiapan sama sekali. Bila kurang waspada keadaan tersebut bisa berakibat sangat fatal. Bisa jadi peristiwa yang tiba-tiba itu membuat gairah jihad berkurang, ghirrah dan semangat juang menurun tajam.
Bahkan kadang begitu emosional menuduh dan mencap banyak pihak sebagai biang keladinya. Atau sebaliknya, menganggap hal tersebut sebagai taqdir yang wajar-wajar saja, tidak perlu dicari hikmah dan maknanya. Sangat disayangkan bila kondisi seperti itu tidak dimanfaatkan untuk meraih berbagai keuntungan.
Petaka yang menimpa kaum muslimin sebenarnya hanyalah ujian atau mungkin peringatan karena kasih sayang Tuhan. Bagi seorang pejuang kondisi seperti ini dapat dimanfaatkan minimal untuk konsolidasi organisasi, pengkristalan kekuatan, dan penyusunan ulang barisan yang lebih rapi, serta upaya koreksi ke dalam untuk perbaikan kebijaksanaan di masa mendatang.
Peristiwa itu patut dijadikan sebagai sentakan teguran, untuk terciptanya semangat dan motivasi baru yang lebih merangsang, lebih mendorong berbuat yang lebih baik.
Karena datangnya serba mendadak, wajar kalau membuat suatu kegoncangan. Nabi sendiri mengalami peristiwa itu.
Ketika kaum musyrikin Quraisy mencapai puncak kemarahannya, ketika Nabi menggantungkan diri pada perlindungan paman dan isterinya, pada saat itu keduanya diambil oleh Allah, mati. Saat itu jiwa Nabi betul-betul terguncang, sehingga tersebut tahun itu sebagai 'Amul Khuzn', tahun duka.
Boleh-boleh saja kita oleng karena badai dan ombak mengamuk begitu kuat. Tapi bagaimanapun kita tiak boleh sampai tersungkur jatuh atau kembali ke tepian. Di sinilah diperlukan seorang nahkoda yang cukup lihai mengemudikan kapal. Dibutuhkan seni kepemimpinan yang cukup handal.
Peristiwa seperti ini tak bisa dihindari. Pasti akan dialami oleh setiap orang yang hendak meningkatkan kualitas syahadatnya. Utamanya mereka yang menjadi pioner dan perintis perjuangan.
Dengan demikian harus disiapsiagakan diri menerima kemungkinan tersebut sebagai sesuatu yang bisa memberi manfaat bila diupayakan dengan baik. Sebab ia juga sekaligus berfungsi sebagai proses pematangan syahadat.
Melalui peristiwa ini akan terseleksi apakah mereka masih bersangka baik kepada Allah SWT, atau malah menuduh Allah dengan berbagai macam dakwaan?
Kematian kedua tumpuan Nabi, paman sekaligus isteri beliau secara beruntun adalah teguran dan peringatan Allah bahwa tak sepatutnya beliau bergantung pada keduanya.
Peristiwa itu sesungguhnya pelajaran bagi Nabi bahwa hanya Allah yang dapat melindungi dirinya, bukan karena kepiawaian pamannya, juga bukan karena kebangsawanan isterinya.
Melalui peristiwa pahit ini kita rasakan sendiri peringkat kadar kualitas syahadat yang kita miliki. Justru pada saat malapetaka itu datang, betapapun kecilnya, saat itulah kita bisa melakukan evaluasi. Itu tidak berarti kita kemudian mencari-cari malapetaka, sebab kalau demikian maknanya bisa lain, dan hasinyapun juga berbeda. Merencanakan serta mengundang malapetaka bisa bermakna menganiaya diri sendiri.
"Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (Q.S. Al-Baqarah : 195).
Keberhasilan untuk tetap stabil dan normal di dalam menerima sentakan yang seperti itu adalah wujud kemampuan memperlihatkan mutu kadar kualitas syahadat.
Perlu keluwesan untuk tidak terlalu kaku memahami ungkapan ini, sebab bisa saja malapetaka tersebut sifatnya tidak langsung.
Mungkin saja berbentuk kegagalan secara total beberapa target yang serius dikejar, atau kemacetan urusan setelah menelan tidak sedikit biaya dan tenaga, atau berupa peristiwa yang mengganggu serta merusak program yang sementara berjalan dengan baik.
Perlu diingat, malapetaka itu bentuknya sentakan, tidak terus-menerus. Peristiwa ini sesungguhnya hanya bersifat teguran peringatan, atau uji coba penjajakan, disamping upaya pemantapan syahadat. Sejauh mana seseorang itu bisa berprasangka baik kepada Allah SWT.
Itulah sebabnya terkadang terasa timbangannya demikian berat, sehingga seseorang dibuatnya kehilangan kendali. Peristiwanya bisa saja sejenak, tetapi pengaruh dan dampaknya yang lama dan berlarut-larut. Kalau kurang kontrol bisa mengundang malapetaka baru yang berkelanjutan.
Padahal andaikan kita mampu memahami apa arti setiap malapetaka yang datang, bisa saja malapetaka itu dijinakkan dan ditekan efeknya seminimal mungkin, sehingga tetap bisa dipetik manfaatnya.
Yang pasti, malapetaka ini sulit untuk dihindari sama sekali, sebab sudah semacam keharusan yang mengiringi keberadaan syahadat. Selama irama dan ritme perjalanannya mengarah ke depan, menuju sasaran dermaga yang telah ditentukan, bagaimanapun hati-hatinya pasti akan berhadapan dengan batu karang yang menghadang. Bertemu dengan ombak dan gelombang yang mengganggu, serta angin topan yang mengancam.
Beberapa kemungkinan bisa terjadi, entah kemudi yang patah, layar yang robek, petugas yang lalai, peralatan yang jatuh, perbekalan yang habis, atau kerusakan-kerusakan yang lain. Adanya persiapan menghadapi kemungkinan itu tentu akan menghasilkan akibat yang sangat berbeda dibanding tanpa persiapan sama sekali.
Ketiadaan persiapan akan menjadikan kepanikan dan kalang kabut begitu malapetaka datang. Akibatnya petaka lain akan terundang beruntun, karena fikiran tidak berfungsi dan hanya emosi yang dominan.
Dengan modal syahadat yang berintikan keyakinan, serta kesadaran akan realitas diri yang sudah dilengkapi oleh Allah berbagai instrumen dan peralatan yang memadai dalam menghadapi setiap malapetaka, hati pasti menjadi tenang. Dan satu lagi yang pasti, Allah selalu siap menolong hamba-Nya yang memerlukan.
Yang perlu kita sadari bahwa inilah resiko yang menjadi saksi nyata akan eksisnya sebuah Syahadat. Adapun selanjutnya bagaimana menghadapi setiap resiko, adalah soal seni, soal taktik, soal gaya, soal format perwatakan, soal kematangan pribadi, soal pengalaman.
Semuanya cukup mempengaruhi reaksi spontan terhadap setiap resiko yang terpaksa harus kita terima apa adanya.
Yang penting bahwa kita bisa memperoleh manfaat, setidak-tidaknya menjadikan diri ini sadar sepenuhnya akan keterbatasan kita, kemudian mengakui bahwasanya kekuasaan itu sepenuhnya di tangan Allah SWT. Dengan demikian datangnya malapetaka berarti kesempatan dan media untuk meningkatkan kualitas Syahadat.
Sumber : www.hidayatullah.com
Tiada waktu tanpa peningkatan kualitas syahadat. Tiada program kecuali peningkatan iman. Tidak mati kecuali dalam puncak jenjang syahadat, pasrah diri kepada Tuhan.
"Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa, dan janganlah engkau mati kecuali dalam Islam." (Q.S. Ali Imran : 102).
Rute perjalanan yang harus dilalui untuk membuktikan syahadat bisa dikatakan singkat, bisa juga panjang. Hal tersebut tergantung pada kadar mujahadah, dukungan ibadah dan ukuran besar kecilnya tanggungjawab yang dipikul.
Namun demikian, dibalik perbedaan jauh rute itu, ada kesamaan irama dan ritme perjalanan. Jurang yang terjal, tebing yang tinngi pasti ditemukan dalam perjalanan.
Bahkan dengan tegas Allah merinci tikungan-tikungan tajam yang akan dilewati dalam perjalanan proses uji coba penentuan peringkat kadar kualitas syahadat dengan firman-Nya:
"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang yang beriman bersamanya : 'Bilakah datangnya pertolongan Allah ?'. Ingatlah sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat." (Q.S. Al-Baqarah : 214).
Ada tiga tebing tinggi dan jurang terjal yang harus dilewati sebelum seseorang sampai ke titik kenikmatan yang dijanjikan oleh Allah. Baik kenikmatan dunia apalagi yang di akhirat.
Ketiga tebing dan jurang tersebut dialami oleh semua orang yang ingin menikmati surga,tak terkecuali Nabi dan Rasul Allah.
Sudah merupakan garis ketentuan Allah, atau sudah menjadi sunnatullah, hukum alam yang sudah pasti, bahwa untuk mencapai keadaan yang ideal diperlukan proses yang tidak ringan.
"Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang terdahulu sebelum(mu), dan kamu sekali-kali tidak akan mendapati perubahan pada sunnah Allah." (Q.S. Al-Ahzab : 62).
Andaikan para Nabi dan Rasul mengetahui jalan mulus menuju surga tanpa mengalami hambatan dan rintangan yang serba menyulitkan, tanpa malapetaka dan ujian, tanpa kesengsaraan dan kemiskinan, maka mereka tentu akan memilih jalan itu. Akan tetapi kenyataannya tidak begitu.
Semua Nabi dan Rasul mengalami nasib yang sama, menempuh rute perjalanan dengan ritme dan irama yang sama. Mereka menderita, selalu ditimpa malapetaka, ditimpa kemelaratan yang tiada tara, juga dihantui oleh perasaan yang serba takut.
Hanya imanlah yang memberikan kemampuan pada mereka untuk tetap berjalan dalam rel yang sudah ditentukan.
Bukan hanya itu, segala cobaan yang datangnya dari Allah mampu dimanfaatkan untuk mempertebal keimanan, bukan sebaliknya melemahkan iman.
Syahadat memang memerlukan proses pembajaan. Dan proses pembajaan yang baik hanyalah melewati berbagai kesulitan, karena sesudah kesulitan itulah akan muncul kemudahan. "Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan." (Q.S. Al-Insyirah : 5-6).
Bila Malapetaka Datang
Malapetaka merupakan suatu kondisi yang sangat tidak menyenangkan, datang dengan tiba-tiba di luar perkiraan, dan tanpa persiapan sama sekali. Bila kurang waspada keadaan tersebut bisa berakibat sangat fatal. Bisa jadi peristiwa yang tiba-tiba itu membuat gairah jihad berkurang, ghirrah dan semangat juang menurun tajam.
Bahkan kadang begitu emosional menuduh dan mencap banyak pihak sebagai biang keladinya. Atau sebaliknya, menganggap hal tersebut sebagai taqdir yang wajar-wajar saja, tidak perlu dicari hikmah dan maknanya. Sangat disayangkan bila kondisi seperti itu tidak dimanfaatkan untuk meraih berbagai keuntungan.
Petaka yang menimpa kaum muslimin sebenarnya hanyalah ujian atau mungkin peringatan karena kasih sayang Tuhan. Bagi seorang pejuang kondisi seperti ini dapat dimanfaatkan minimal untuk konsolidasi organisasi, pengkristalan kekuatan, dan penyusunan ulang barisan yang lebih rapi, serta upaya koreksi ke dalam untuk perbaikan kebijaksanaan di masa mendatang.
Peristiwa itu patut dijadikan sebagai sentakan teguran, untuk terciptanya semangat dan motivasi baru yang lebih merangsang, lebih mendorong berbuat yang lebih baik.
Karena datangnya serba mendadak, wajar kalau membuat suatu kegoncangan. Nabi sendiri mengalami peristiwa itu.
Ketika kaum musyrikin Quraisy mencapai puncak kemarahannya, ketika Nabi menggantungkan diri pada perlindungan paman dan isterinya, pada saat itu keduanya diambil oleh Allah, mati. Saat itu jiwa Nabi betul-betul terguncang, sehingga tersebut tahun itu sebagai 'Amul Khuzn', tahun duka.
Boleh-boleh saja kita oleng karena badai dan ombak mengamuk begitu kuat. Tapi bagaimanapun kita tiak boleh sampai tersungkur jatuh atau kembali ke tepian. Di sinilah diperlukan seorang nahkoda yang cukup lihai mengemudikan kapal. Dibutuhkan seni kepemimpinan yang cukup handal.
Peristiwa seperti ini tak bisa dihindari. Pasti akan dialami oleh setiap orang yang hendak meningkatkan kualitas syahadatnya. Utamanya mereka yang menjadi pioner dan perintis perjuangan.
Dengan demikian harus disiapsiagakan diri menerima kemungkinan tersebut sebagai sesuatu yang bisa memberi manfaat bila diupayakan dengan baik. Sebab ia juga sekaligus berfungsi sebagai proses pematangan syahadat.
Melalui peristiwa ini akan terseleksi apakah mereka masih bersangka baik kepada Allah SWT, atau malah menuduh Allah dengan berbagai macam dakwaan?
Kematian kedua tumpuan Nabi, paman sekaligus isteri beliau secara beruntun adalah teguran dan peringatan Allah bahwa tak sepatutnya beliau bergantung pada keduanya.
Peristiwa itu sesungguhnya pelajaran bagi Nabi bahwa hanya Allah yang dapat melindungi dirinya, bukan karena kepiawaian pamannya, juga bukan karena kebangsawanan isterinya.
Melalui peristiwa pahit ini kita rasakan sendiri peringkat kadar kualitas syahadat yang kita miliki. Justru pada saat malapetaka itu datang, betapapun kecilnya, saat itulah kita bisa melakukan evaluasi. Itu tidak berarti kita kemudian mencari-cari malapetaka, sebab kalau demikian maknanya bisa lain, dan hasinyapun juga berbeda. Merencanakan serta mengundang malapetaka bisa bermakna menganiaya diri sendiri.
"Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (Q.S. Al-Baqarah : 195).
Keberhasilan untuk tetap stabil dan normal di dalam menerima sentakan yang seperti itu adalah wujud kemampuan memperlihatkan mutu kadar kualitas syahadat.
Perlu keluwesan untuk tidak terlalu kaku memahami ungkapan ini, sebab bisa saja malapetaka tersebut sifatnya tidak langsung.
Mungkin saja berbentuk kegagalan secara total beberapa target yang serius dikejar, atau kemacetan urusan setelah menelan tidak sedikit biaya dan tenaga, atau berupa peristiwa yang mengganggu serta merusak program yang sementara berjalan dengan baik.
Perlu diingat, malapetaka itu bentuknya sentakan, tidak terus-menerus. Peristiwa ini sesungguhnya hanya bersifat teguran peringatan, atau uji coba penjajakan, disamping upaya pemantapan syahadat. Sejauh mana seseorang itu bisa berprasangka baik kepada Allah SWT.
Itulah sebabnya terkadang terasa timbangannya demikian berat, sehingga seseorang dibuatnya kehilangan kendali. Peristiwanya bisa saja sejenak, tetapi pengaruh dan dampaknya yang lama dan berlarut-larut. Kalau kurang kontrol bisa mengundang malapetaka baru yang berkelanjutan.
Padahal andaikan kita mampu memahami apa arti setiap malapetaka yang datang, bisa saja malapetaka itu dijinakkan dan ditekan efeknya seminimal mungkin, sehingga tetap bisa dipetik manfaatnya.
Yang pasti, malapetaka ini sulit untuk dihindari sama sekali, sebab sudah semacam keharusan yang mengiringi keberadaan syahadat. Selama irama dan ritme perjalanannya mengarah ke depan, menuju sasaran dermaga yang telah ditentukan, bagaimanapun hati-hatinya pasti akan berhadapan dengan batu karang yang menghadang. Bertemu dengan ombak dan gelombang yang mengganggu, serta angin topan yang mengancam.
Beberapa kemungkinan bisa terjadi, entah kemudi yang patah, layar yang robek, petugas yang lalai, peralatan yang jatuh, perbekalan yang habis, atau kerusakan-kerusakan yang lain. Adanya persiapan menghadapi kemungkinan itu tentu akan menghasilkan akibat yang sangat berbeda dibanding tanpa persiapan sama sekali.
Ketiadaan persiapan akan menjadikan kepanikan dan kalang kabut begitu malapetaka datang. Akibatnya petaka lain akan terundang beruntun, karena fikiran tidak berfungsi dan hanya emosi yang dominan.
Dengan modal syahadat yang berintikan keyakinan, serta kesadaran akan realitas diri yang sudah dilengkapi oleh Allah berbagai instrumen dan peralatan yang memadai dalam menghadapi setiap malapetaka, hati pasti menjadi tenang. Dan satu lagi yang pasti, Allah selalu siap menolong hamba-Nya yang memerlukan.
Yang perlu kita sadari bahwa inilah resiko yang menjadi saksi nyata akan eksisnya sebuah Syahadat. Adapun selanjutnya bagaimana menghadapi setiap resiko, adalah soal seni, soal taktik, soal gaya, soal format perwatakan, soal kematangan pribadi, soal pengalaman.
Semuanya cukup mempengaruhi reaksi spontan terhadap setiap resiko yang terpaksa harus kita terima apa adanya.
Yang penting bahwa kita bisa memperoleh manfaat, setidak-tidaknya menjadikan diri ini sadar sepenuhnya akan keterbatasan kita, kemudian mengakui bahwasanya kekuasaan itu sepenuhnya di tangan Allah SWT. Dengan demikian datangnya malapetaka berarti kesempatan dan media untuk meningkatkan kualitas Syahadat.
Sumber : www.hidayatullah.com
Seorang Mahasiswa mematahkan pernyataan seorang profesor
Seorang Profesor dari sebuah universitas terkenal menantang mahasiswa-mahasiswa nya dengan pertanyaan ini, "Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada?".
Seorang mahasiswa dengan berani menjawab, "Betul, Dia yang menciptakan semuanya".
"Tuhan menciptakan semuanya?" Tanya professor sekali lagi. "Ya, Pak, semuanya" kata mahasiswa tersebut.
Profesor itu menjawab, "Jika Tuhan menciptakan segalanya, berarti Tuhan menciptakan Kejahatan. Karena kejahatan itu ada, dan menurut prinsip kita bahwa pekerjaan kita menjelaskan siapa kita, jadi kita bisa berasumsi bahwa Tuhan itu adalah kejahatan".
Mahasiswa itu terdiam dan tidak bisa menjawab hipotesis professor tersebut. Profesor itu merasa menang dan menyombongkan diri bahwa sekali lagi dia telah membuktikan kalau Agama itu adalah sebuah mitos.
Mahasiswa lain mengangkat tangan dan berkata, "Profesor, boleh saya bertanya sesuatu?".
"Tentu saja," jawab si Profesor,
Mahasiswa itu berdiri dan bertanya, "Profesor, apakah dingin itu ada?"
"Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja dingin itu ada.
Kamu tidak pernah sakit flu?" Tanya si professor diiringi tawa mahasiswa lainnya.
Mahasiswa itu menjawab, "Kenyataannya, Pak, dingin itu tidak ada.
Menurut hukum fisika, yang kita anggap dingin itu adalah ketiadaan panas. Suhu -460F adalah ketiadaan panas sama sekali. Dan semua partikel menjadi diam dan tidak bisa bereaksi pada suhu tersebut. Kita menciptakan kata dingin untuk mendeskripsikan ketiadaan panas."
Mahasiswa itu melanjutkan, "Profesor, apakah gelap itu ada?" Profesor itu menjawab, "Tentu saja itu ada."
Mahasiswa itu menjawab, "Sekali lagi anda salah, Pak.
Gelap itu juga tidak ada. Gelap adalah keadaan dimana tidak ada cahaya. Cahaya bisa kita pelajari, gelap tidak.
Kita bisa menggunakan prisma Newton untuk meme-cahkan cahaya menjadi beberapa warna dan mempelajari berbagai panjang gelombang setiap warna. Tapi Anda tidak bisa mengukur gelap. Seberapa gelap suatu ruangan diukur dengan berapa intensitas cahaya di ruangan tersebut. Kata gelap dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan cahaya."
Akhirnya mahasiswa itu bertanya, "Profesor, apakah kejahatan itu ada?"
Dengan bimbang professor itu menjawab, "Tentu saja, seperti yang telah kukatakan sebelumnya.
Kita melihat setiap hari di Koran dan TV. Banyak perkara kriminal dan kekerasan di antara manusia. Perkara-perkara tersebut adalah manifestasi dari kejahatan."
Terhadap pernyataan ini mahasiswa itu menjawab, "Sekali lagi Anda salah, Pak.
Kejahatan itu tidak ada. Kejahatan adalah ketiadaan Tuhan. Seperti dingin atau gelap, kajahatan adalah kata yang dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan Tuhan.
Tuhan tidak menciptakan kajahatan. Kajahatan adalah hasil dari tidak adanya kasih Tuhan dihati manusia. Seperti dingin yang timbul dari ketiadaan panas dan gelap yang timbul dari ketiadaan cahaya."
Profesor itu terdiam.
Nama mahasiswa itu adalah "Albert Einstein" .
Semoga kita dapat mengambil hikmah dari cerita di atas...
Seorang mahasiswa dengan berani menjawab, "Betul, Dia yang menciptakan semuanya".
"Tuhan menciptakan semuanya?" Tanya professor sekali lagi. "Ya, Pak, semuanya" kata mahasiswa tersebut.
Profesor itu menjawab, "Jika Tuhan menciptakan segalanya, berarti Tuhan menciptakan Kejahatan. Karena kejahatan itu ada, dan menurut prinsip kita bahwa pekerjaan kita menjelaskan siapa kita, jadi kita bisa berasumsi bahwa Tuhan itu adalah kejahatan".
Mahasiswa itu terdiam dan tidak bisa menjawab hipotesis professor tersebut. Profesor itu merasa menang dan menyombongkan diri bahwa sekali lagi dia telah membuktikan kalau Agama itu adalah sebuah mitos.
Mahasiswa lain mengangkat tangan dan berkata, "Profesor, boleh saya bertanya sesuatu?".
"Tentu saja," jawab si Profesor,
Mahasiswa itu berdiri dan bertanya, "Profesor, apakah dingin itu ada?"
"Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja dingin itu ada.
Kamu tidak pernah sakit flu?" Tanya si professor diiringi tawa mahasiswa lainnya.
Mahasiswa itu menjawab, "Kenyataannya, Pak, dingin itu tidak ada.
Menurut hukum fisika, yang kita anggap dingin itu adalah ketiadaan panas. Suhu -460F adalah ketiadaan panas sama sekali. Dan semua partikel menjadi diam dan tidak bisa bereaksi pada suhu tersebut. Kita menciptakan kata dingin untuk mendeskripsikan ketiadaan panas."
Mahasiswa itu melanjutkan, "Profesor, apakah gelap itu ada?" Profesor itu menjawab, "Tentu saja itu ada."
Mahasiswa itu menjawab, "Sekali lagi anda salah, Pak.
Gelap itu juga tidak ada. Gelap adalah keadaan dimana tidak ada cahaya. Cahaya bisa kita pelajari, gelap tidak.
Kita bisa menggunakan prisma Newton untuk meme-cahkan cahaya menjadi beberapa warna dan mempelajari berbagai panjang gelombang setiap warna. Tapi Anda tidak bisa mengukur gelap. Seberapa gelap suatu ruangan diukur dengan berapa intensitas cahaya di ruangan tersebut. Kata gelap dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan cahaya."
Akhirnya mahasiswa itu bertanya, "Profesor, apakah kejahatan itu ada?"
Dengan bimbang professor itu menjawab, "Tentu saja, seperti yang telah kukatakan sebelumnya.
Kita melihat setiap hari di Koran dan TV. Banyak perkara kriminal dan kekerasan di antara manusia. Perkara-perkara tersebut adalah manifestasi dari kejahatan."
Terhadap pernyataan ini mahasiswa itu menjawab, "Sekali lagi Anda salah, Pak.
Kejahatan itu tidak ada. Kejahatan adalah ketiadaan Tuhan. Seperti dingin atau gelap, kajahatan adalah kata yang dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan Tuhan.
Tuhan tidak menciptakan kajahatan. Kajahatan adalah hasil dari tidak adanya kasih Tuhan dihati manusia. Seperti dingin yang timbul dari ketiadaan panas dan gelap yang timbul dari ketiadaan cahaya."
Profesor itu terdiam.
Nama mahasiswa itu adalah "Albert Einstein" .
Semoga kita dapat mengambil hikmah dari cerita di atas...
Label:
albert einstein,
hikmah,
logika,
mahasiswa,
professor
Rabu, 01 Juni 2011
Menghafal Al-Qur'an, bikin pinter makin pinter
Assalamualaikum adik-adik remaja yang guokil abiz… Kamu-kamu sudah berapa juz hapalan quran nya? Hayo… 30 juz, 25 juz, 15 juz, 10 juz, 5 juz, 3 juz, 1 juz, hmmm… 10 surat, 5 surat, 3 surat, 1 surat, ding dong… 1 ayat. Kok makin menurun. He… Ya begitulah kondisi pemuda islam saat ini. Pada males ngapalin yang namanya Al Quran. Tapi kalo ditanya ...acara televise Opra Van Jav mulai jam berapa? Semua pasti pada ngacung taunya mulai jam berapa, setiap hari apa, berapa lama di putarnya, siapa aja pemainnya. Selamat kamu dapat 1 juta rupiah. He… kayak kuis aja.
Adik-adik remaja yang dahsyat (bukan acara dahsyat televise yah). Hari ini untuk dapat memotivasi kamu semua untuk bersemangat menghafal Al Quran, kita akan bercerita tentang sebua keluarga besar, dimana kehidupan keluarga ini telah diceritakan dibanyak media bahkan telah dibukukan dengan judul “10 Bersaudara Bintang Al Quran”. Wow, melihat judulnya saja mungkin kita sudah cukup terpesona. Mereka adalah 10 bersaudara yang semuanya adalah para penghafal Al Quran.
Mungkin dalam bayangan adik-adik yang ada saat ini, pasti mereka nilai sekolahnya biasa-biasa saja atau bahkan prestasinya tidak seperti anak-anak pintar lainnya. Karena mereka terlalu sibuk menghapal Al Quran yang sangat tebal. Rasanya g masuk di akal. He…
Tapi justru kenyataan bercerita lain tentang mereka. Mereka adalah orang-orang yang berprestasi dan sudah beberapa yang melanjutkan kuliahnya keluar negri loh untuk S2. Subhanallah bukan?
Hayuk kita kenalan dengan mereka supaya g semakin penasaran
Yang pertama namanya Afzalurahman Assalam. Hafal Al-Qur'an pada usia 13 tahun. Saat buku itu ditulis usianya 23 tahun, semester akhir Teknik Geofisika ITB. Pernah menjuarai Juara I MTQ Putra Pelajar SMU se-Solo, kemudian juga disibukkan sebagai Ketua Pembinaan Majelis Taklim Salman ITB dan terpilih sebagai peserta Pertamina Youth Programme 2007.
Yang kedua namanya Faris Jihady Hanifa . Hafal Al-Qur'an pada usia 10 tahun dengan predikat mumtaz (artinya sangat…sangat bagus/baik). Saat buku ini ditulis usianya 21 tahun dan duduk di semester 7 Fakultas Syariat LIPIA. Peraih juara I lomba tahfiz Al-Qur'an yang diselenggarakan oleh kerajaan Saudi di Jakarta tahun 2003, juara olimpiade IPS tingkat SMA yang diselenggarakan UNJ tahun 2004, dan sekarang menjadi Sekretaris Umum KAMMI Jakarta.
Yang ketiga namanya Maryam Qonitat. Hafal Al-Qur'an sejak usia 16 tahun. Saat buku ini ditulis usianya 19 tahun dan duduk di semester V Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar Kairo. Pelajar teladan dan lulusan terbaik Pesantren Husnul Khatimah 2006. Sekarang juga menghafal hadits dan mendapatkan sanad Rasulullah dari Syaikh Al-Azhar.
Yang keempat namanya Scientia Afifah Taibah. Hafal 29 juz sejak SMA. Kini usianya 19 tahun dan duduk di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI). Saat SMP menjadi pelajar teladan dan saat SMA memperoleh juara III lomba Murottal Al-Qur'an tingkat SMA se-Jakarta Selatan.
Yang kelima namanya Ahmad Rasikh 'Ilmi. Saat buku ini ditulis hafal 15 juz Al-Qur'an, dan duduk di MA Husnul Khatimah, Kuningan. Ia lulusan terbaik SMPIT Al-Kahfi, juara I Kompetisi English Club Al-Kahfi dan menjadi musyrif bahasa Arab MA Husnul Khatimah.
Yang keenam namanya Ismail Ghulam Halim. Saat buku ini ditulis hafal 13 juz Al-Qur'an, dan duduk di SMAIT Al-Kahfi Bogor. Ia lulusan terbaik SMPIT Al-Kahfi, juara lomba pidato bahasa Arab SMP se-Jawa Barat, serta santri teladan, santri favorit, juara umum dan tahfiz terbaik tiga tahun berturut-turut di SMPIT Al-Kahfi.
Yang ketujuh namanya Yusuf Zaim Hakim. Saat buku ini ditulis ia hafal 9 juz Al-Qur'an dan duduk di SMPIT Al-Kahfi, Bogor. Prestasinya antara lain: peringkat I di SDIT, peringkat I SMP, juara harapan I Olimpiade Fisika tingkat Kabupaten Bogor, dan finalis Kompetisi tingkat Kabupaten Bogor.
Yang kedelapan namanya Muhammad Syaihul Basyir. Saat buku ini ia duduk di MTs Darul Qur'an, Bogor. Yang sangat istimewa adalah, ia sudah hafal Al-Qur'an 30 juz pada saat kelas 6 SD.
Yang kesembilan namanya Hadi Sabila Rosyad. Saat buku ini ditulis ia bersekolah di SDIT Al-Hikmah, Mampang, Jakarta Selatan dan hafal 2 juz Al-Qur'an. Diantara prestasinya dalah juara I lomba membaca puisi.
Yang kesepuluh Himmaty Muyassarah. Saat buku ini ditulis ia bersekolah di SDIT Al-Hikmah, Mampang, Jakarta Selatan dan hafal 2 juz Al-Qur'an.
Wah…wah. Subhanallah dan luar biasakan adik-adik. Penuh dengan prestasi dan inspirasi untuk kita-kita. Jadi tidak benar kalau kita menghapal Al Quran akan membuat kita lalai dari pelajaran-pelajaran sekolah atau dari prestasi lainnya. Lihat mereka yang sepuluh orang bersaudara dan semuany DAHSYAT. Sekolah di sekolah yang luar biasa, hapal Al Quran, bahakn tak ketinggalan prestasi-prestasi yang luar biasa pula.
Nah, kita cari tau yuk siapa rahasia sukses dibalik kesuksesan mereka semua.
Ternyata rahasianya ada pada kedua orang tua mereka. Mereka lahir dari keluarga dakwah dimana sang bapak yang bernama Mutammimul Ula adalah seorang anggota DPR RI dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan ibu bernama Wirianingsih yang juga tidak kalah super sibuk dibandingkan dengan sang Bapak dimana ibu yang cantik ini bekerja sebagai Staf Kaderisasi DPP PKS, Ketua Aliansi Selamatkan Anak (ASA), dan Ketua Umum PP Salimah yang cabangnya sudah tersebar di 29 Propinsi dan lebih dari 400 daerah yang ada di Indonesia.
Ditengah kesibukan mereka, mereka selalu luangkan waktu untuk mendidik anak-anaknya yang sampai dengan 10 orang. Banyak anak memang banyak rejeki euy… nah itupulalah yang membuat mereka menjadi orang-orang yang sukses pada saat ini. Bukan hanya sukses di dunia tapi juga di akhirat InsyaAllah.
Nah, itu cerita kita tentang para Bintang Al Quran yang saat ini ada di Negara kita tercinta Indonesia. Hebat bukan. Jadi tidak benar jika menghapal Al Quran akan membuat kalian bodoh, membuat kalian lalai, membuat kalian malas, apalagi membuat kalian tidak bias berprestasi. Mereka-mereka telah membuktikannya. Sekarang giliran adik-adik untuk beraksi menjadi yang terbaik dan kalau bias harus lebih baik dari mereka-mereka.
Ayuk kita menghapal AL Quran. Prestasi Tiada Henti.
Adik-adik remaja yang dahsyat (bukan acara dahsyat televise yah). Hari ini untuk dapat memotivasi kamu semua untuk bersemangat menghafal Al Quran, kita akan bercerita tentang sebua keluarga besar, dimana kehidupan keluarga ini telah diceritakan dibanyak media bahkan telah dibukukan dengan judul “10 Bersaudara Bintang Al Quran”. Wow, melihat judulnya saja mungkin kita sudah cukup terpesona. Mereka adalah 10 bersaudara yang semuanya adalah para penghafal Al Quran.
Mungkin dalam bayangan adik-adik yang ada saat ini, pasti mereka nilai sekolahnya biasa-biasa saja atau bahkan prestasinya tidak seperti anak-anak pintar lainnya. Karena mereka terlalu sibuk menghapal Al Quran yang sangat tebal. Rasanya g masuk di akal. He…
Tapi justru kenyataan bercerita lain tentang mereka. Mereka adalah orang-orang yang berprestasi dan sudah beberapa yang melanjutkan kuliahnya keluar negri loh untuk S2. Subhanallah bukan?
Hayuk kita kenalan dengan mereka supaya g semakin penasaran
Yang pertama namanya Afzalurahman Assalam. Hafal Al-Qur'an pada usia 13 tahun. Saat buku itu ditulis usianya 23 tahun, semester akhir Teknik Geofisika ITB. Pernah menjuarai Juara I MTQ Putra Pelajar SMU se-Solo, kemudian juga disibukkan sebagai Ketua Pembinaan Majelis Taklim Salman ITB dan terpilih sebagai peserta Pertamina Youth Programme 2007.
Yang kedua namanya Faris Jihady Hanifa . Hafal Al-Qur'an pada usia 10 tahun dengan predikat mumtaz (artinya sangat…sangat bagus/baik). Saat buku ini ditulis usianya 21 tahun dan duduk di semester 7 Fakultas Syariat LIPIA. Peraih juara I lomba tahfiz Al-Qur'an yang diselenggarakan oleh kerajaan Saudi di Jakarta tahun 2003, juara olimpiade IPS tingkat SMA yang diselenggarakan UNJ tahun 2004, dan sekarang menjadi Sekretaris Umum KAMMI Jakarta.
Yang ketiga namanya Maryam Qonitat. Hafal Al-Qur'an sejak usia 16 tahun. Saat buku ini ditulis usianya 19 tahun dan duduk di semester V Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar Kairo. Pelajar teladan dan lulusan terbaik Pesantren Husnul Khatimah 2006. Sekarang juga menghafal hadits dan mendapatkan sanad Rasulullah dari Syaikh Al-Azhar.
Yang keempat namanya Scientia Afifah Taibah. Hafal 29 juz sejak SMA. Kini usianya 19 tahun dan duduk di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI). Saat SMP menjadi pelajar teladan dan saat SMA memperoleh juara III lomba Murottal Al-Qur'an tingkat SMA se-Jakarta Selatan.
Yang kelima namanya Ahmad Rasikh 'Ilmi. Saat buku ini ditulis hafal 15 juz Al-Qur'an, dan duduk di MA Husnul Khatimah, Kuningan. Ia lulusan terbaik SMPIT Al-Kahfi, juara I Kompetisi English Club Al-Kahfi dan menjadi musyrif bahasa Arab MA Husnul Khatimah.
Yang keenam namanya Ismail Ghulam Halim. Saat buku ini ditulis hafal 13 juz Al-Qur'an, dan duduk di SMAIT Al-Kahfi Bogor. Ia lulusan terbaik SMPIT Al-Kahfi, juara lomba pidato bahasa Arab SMP se-Jawa Barat, serta santri teladan, santri favorit, juara umum dan tahfiz terbaik tiga tahun berturut-turut di SMPIT Al-Kahfi.
Yang ketujuh namanya Yusuf Zaim Hakim. Saat buku ini ditulis ia hafal 9 juz Al-Qur'an dan duduk di SMPIT Al-Kahfi, Bogor. Prestasinya antara lain: peringkat I di SDIT, peringkat I SMP, juara harapan I Olimpiade Fisika tingkat Kabupaten Bogor, dan finalis Kompetisi tingkat Kabupaten Bogor.
Yang kedelapan namanya Muhammad Syaihul Basyir. Saat buku ini ia duduk di MTs Darul Qur'an, Bogor. Yang sangat istimewa adalah, ia sudah hafal Al-Qur'an 30 juz pada saat kelas 6 SD.
Yang kesembilan namanya Hadi Sabila Rosyad. Saat buku ini ditulis ia bersekolah di SDIT Al-Hikmah, Mampang, Jakarta Selatan dan hafal 2 juz Al-Qur'an. Diantara prestasinya dalah juara I lomba membaca puisi.
Yang kesepuluh Himmaty Muyassarah. Saat buku ini ditulis ia bersekolah di SDIT Al-Hikmah, Mampang, Jakarta Selatan dan hafal 2 juz Al-Qur'an.
Wah…wah. Subhanallah dan luar biasakan adik-adik. Penuh dengan prestasi dan inspirasi untuk kita-kita. Jadi tidak benar kalau kita menghapal Al Quran akan membuat kita lalai dari pelajaran-pelajaran sekolah atau dari prestasi lainnya. Lihat mereka yang sepuluh orang bersaudara dan semuany DAHSYAT. Sekolah di sekolah yang luar biasa, hapal Al Quran, bahakn tak ketinggalan prestasi-prestasi yang luar biasa pula.
Nah, kita cari tau yuk siapa rahasia sukses dibalik kesuksesan mereka semua.
Ternyata rahasianya ada pada kedua orang tua mereka. Mereka lahir dari keluarga dakwah dimana sang bapak yang bernama Mutammimul Ula adalah seorang anggota DPR RI dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan ibu bernama Wirianingsih yang juga tidak kalah super sibuk dibandingkan dengan sang Bapak dimana ibu yang cantik ini bekerja sebagai Staf Kaderisasi DPP PKS, Ketua Aliansi Selamatkan Anak (ASA), dan Ketua Umum PP Salimah yang cabangnya sudah tersebar di 29 Propinsi dan lebih dari 400 daerah yang ada di Indonesia.
Ditengah kesibukan mereka, mereka selalu luangkan waktu untuk mendidik anak-anaknya yang sampai dengan 10 orang. Banyak anak memang banyak rejeki euy… nah itupulalah yang membuat mereka menjadi orang-orang yang sukses pada saat ini. Bukan hanya sukses di dunia tapi juga di akhirat InsyaAllah.
Nah, itu cerita kita tentang para Bintang Al Quran yang saat ini ada di Negara kita tercinta Indonesia. Hebat bukan. Jadi tidak benar jika menghapal Al Quran akan membuat kalian bodoh, membuat kalian lalai, membuat kalian malas, apalagi membuat kalian tidak bias berprestasi. Mereka-mereka telah membuktikannya. Sekarang giliran adik-adik untuk beraksi menjadi yang terbaik dan kalau bias harus lebih baik dari mereka-mereka.
Ayuk kita menghapal AL Quran. Prestasi Tiada Henti.
Iklan
SD IT Darul Abror masuk JSIT (Jaringan Sekolah Islam Terpadu) Jawa Barat
Klik Di sini:
http://www.jsit-jabar.org/?mn=jsit-jabar&kn=sch&id=SD%20IT%20Darul%20Abror
Klik Di sini:
http://www.jsit-jabar.org/?mn=jsit-jabar&kn=sch&id=SD%20IT%20Darul%20Abror
Label:
JSIT Jawa Barat,
sd it darul abror
Selamat Menjalankan UAS, Nak! =)
SERENADE DO'A BUNDA
Betapa setetes saja
Cukup bagiku, bunda
Air mata doamu
yang tersungkur setia
dalam sujud tahajudmu
Sungguh cukup
tuk melapur pedih duka
menguatkan kembali langkahku
Meski cukup setetes saja
Sajadahmu basah, Bunda
Label:
berjuang,
ibadah,
semoga sukses,
UAS
Pagelaran Kesenian Sunda
Sabtu (28/05/11) kemarin, SD IT Darul Abror mendelegasikan santrinya untuk mengikuti pagelaran kesenian sunda (PKS). Dikonfirmasi dari panitia PKS BEM STKIP Garut masa kepemimpinan Abdul Muiz Ali dan Mega (2010), PKS bertujuan agar anak-anak masa kini mengenal permainan tradisional urang sunda yang kaya akan khazanah kearifan tradisional. Misalnya saja seperti yang dipertandingkan sabtu kemarin seperti permainan boy-boyan. Permainan ini untuk mengembangkan ketangkasan anak, membina kerjasama dan kekompakkan tim, solidaritas tim (itsar, itsar....hehe^^V), dan lain-lain.
Hasilnya? JRENG.....JRENG....JRENG!!!! KALAH, GAN!!!! (kok, jadi ngaskus geneee????)
Setelah diteliti, ternyata anak-anak SD IT Darul Abror DEMAM PANGGUNG!!!! (Hayooo, harus rajin-rajin ikut kompetisi yak!)
Harus fair, dung! Bukan karena wasitnya, bukan karena kurang sponsor...intinya, Nak. Jika kau kalah, tak apa....karena itu artinya, kalian hanya bisa jadi juara di kandang sendiri....kalau mau tahu sehebat apa diri kalian, mengukur sejauhmana kemampuan kalian, bertandinglah! Fastabiqul khairat!!! Semangat!!!!
Langganan:
Postingan (Atom)